IAA

IAA

Senin, 30 November 2015

SEJARAH SINGKAT PP.ANNUQAYAH


PONDOK PESANTREN ANNUQAYAH[1] didirikan pada tahun 1887 oleh K.H. Moh. Syarqawi. Beliau adalah seorang ulama pendatang yang lahir di Kudus, Jawa Tengah. Sebelum menetap di Madura, menurut cerita para sesepuh, beliau pernah menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren yang berkembang pada saat itu, baik yang di daerah Madura maupun di luar Madura, yaitu di negeri Borneo (Kalimantan) tepatnya di daerah Pontianak. Beliau juga pernah merantau ke negeri jiran Malaysia dan Muangthai selatan (daerah Pattaya), kemudian beliau juga pernah tinggal di Mesir dan Makkah Al Mukarramah. Perjalanan beliau untuk menuntut ilmu ke berbagai daerah ini berlangsung selama sekitar 13 tahun.[2]

Di saat beliau tinggal beberapa tahun di tanah suci, beliau berkenalan dengan seorang saudagar kaya namun juga alim dari Prenduan (sebuah desa kecil di pesisir selatan, barat laut dari kota Sumenep) bernama Kiai Gemma.[3] Persahabatan beliau dengan saudagar ini terus terjalin dengan baik dan sangat akrab, hingga pada suatu saat, ketika Kiai Gemma merasa tidak lama lagi akan pulang ke hadirat Allah, ia berpesan kepada Kiai Syarqawi agar kalau Kiai Gemma meninggal, beliau mengawini istrinya.

Tidak lama kemudian Kiai Gemma pun wafat dan Kiai Syarqawi melaksanakan wasiat tersebut. Demikianlah, Kiai Syarqawi mengawini[4] janda Kiai Gemma, Ny.Hj. Khodijah (istri pertama).[5] Kemudian pada tahun 1875 (1293 H.) beliau pulang ke Madura dan menetap bersama isterinya di desa Prenduan kabupaten Sumenep.

Di Prenduan Kiai Syarqawi membuka pengajian Al-Qur'an dan berbagai ilmu keislaman lain (kitab) untuk masyarakat umum, sehingga banyak anggota masyarakat Prenduan maupun dari desa tetangga sekitar yang mengikuti pengajian itu. Konon, hingga beliau dipercaya menjadi penghulu di Sumenep.

Selama tinggal di Prenduan, beliau sering pulang ke Kudus untuk menjenguk isterinya. Melihat keadaan seperti itu Nyai Khodijah menyarankan agar beliau kawin lagi saja, agar tidak perlu lagi mondar-mandir Prenduan-Kudus, di samping karena alat transportasi saat itu masih relatif sulit, kondisi demikian cukup merepotkan Nyai Khodijah. Saran tersebut diterima, KH. Syarqawi kemudian kawin lagi dengan seorang gadis desa Guluk-Guluk bernama Qamariyah,[6] yang semula sering diajak ayahnya mengikuti pengajian di kediaman Kiai Syarqawi.

Setelah sekitar 14 tahun (1293-1307 H.) Kiai Syarqawi tinggal di Prenduan, kota kecil di daerah pesisir yang cukup ramai dan berpenduduk agak padat itu dipandang kurang layak dan nyaman untuk membangun sebuah pesantren, sehingga pada tahun 1887, beliau bersama dua istrinya juga Kiai Bukhari (putera dari istri pertama), pindah dan menetap di desa Guluk-Guluk, daerah pedalaman sekitar 8 km sebelah utara Prenduan dengan maksud mendirikan pesantren.

Sebagai pendatang baru di Guluk-Guluk Kiai Syarqawi belum mempunyai kekayaan apa-apa, namun berkat simpati dan derma seorang saudagar kaya bernama H. Abdul Azis, beliau diberi sebidang tanah dan bahan bangunan bekas kandang kuda[8]. Di tempat inilah, kemudian beliau mendirikan sebuah bangunan serta sebuah langgar bambu dari bekas kandang kuda. Tempat tersebut dikenal dengan nama Dalem Tenga. Sedangkan Nyai Qamariyah ditempatkan dibangunan terpisah sekitar 200 m. Ke arah barat laut Dalem Tenga. Saat ini tempat kediaman Nyai Qamariyah ini dikenal dengan sebutan Lubangsa.

Sejak saat itulah banyak anggota masyarakat sekitar berdatangan ke tempat beliau untuk belajar agama, meminta fatwa ataupun saran tentang persoalan-persoalan kemasyarakatan lainnya. Kiai Syarqawi pada mulanya mengajar masyarakat sekitar membaca Al-Quran serta dasar-dasar pengetahuan keislaman di langgar bambu yang beliau dirikan, hingga kemudian tempat pengajaran itu berkembang dengan tinggalnya beberapa santri bersama beliau yang akhirnya menjadi cikal bakal pesantren Annuqayah ini.

Kira-kira setelah lima tahun Kiai Syarqawi mendirikan langgar, jumlah santri sudah lebih dari 100 orang, sedang bilik asramanya kurang lebih 12 buah.[9]

Demikianlah, PP Annuqayah dari tahun ke tahun terus berkembang, namun Kiai Syarqawi sebagai pendiri yang terus selalu mengadakan upaya-upaya peningkatan pesantren semakin sepuh dan udzur usianya, pada tahun 1910 M. (1329 H.) beliau dipanggil ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, beliau mengasuh pesantren Annuqayah ini selama kurang lebih 23 tahun.

Kepemimpinan Generasi Pertama


Sebagaimana umumnya tradisi kepemimpinan di pesantren yang berlangsung secara turun temurun, sepeninggal Kiai Syarqawi, pesantren ini diserahkan kepada putera beliau, K.H. Bukhori.[10] Ketika Kiai Syarqawi masih hidup memang telah mempersiapkan putera-puteranya dengan memondokkan ke berbagai pondok pesantren di daerah Madura dan Jawa Timur. Untuk melanjutkan kepengasuhan Kiai Bukhori dibantu oleh K.H.Moh. Idris, dan kakak ipar beliau, K.H. Imam dari desa Karay, menantu K. Syarqawi yang kawin dengan Ny. Zubaidah. Peran para penerus ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kiai. Syarqawi, yakni pengajian-pengajian Al-Qur’an dan keagamaan kepada para santri yang bermukim di pesantren baik dalam bentuk sorogan (individual) maupun wetonan (kolektif), sedangkan pembinaan masyarakat di luar pesantren masih belum mendapat perhatian yang serius. Namun demikain, sejak tinggal di Guluk-Guluk, Nyai Khodijah mulai merintis pengajian Al-Qur’an untuk anak-anak dan remaja puteri sekitar pesantren.

Hubungan antara pesantren dengan masyarakat sekitar sejak masa Kiai Syarqawi memang masih kurang begitu akrab, karena kondisi masyarakat pada waktu itu masih sulit menerima perubahan-perubahan dan rawan konflik (Madura: rojing), sehingga harus memerlukan pendekatan-pendekatan interpersonal agar perlahan-lahan masyarakat mulai simpatik dan mau diajak merubah pola-pola kehidupan mereka yang tidak sesuai dengan syariat Islam.[11]

Setelah kepemimpinan Kiai Bukhori, Kiai Idris dan Kiai Imam ini lambat laun hubungan pesantren dengan masyarakat sekitar nampak mulai lebih akrab, yakni sekitar tahun1917, ketika K.H. Moh. Ilyas pulang ke Guluk-Guluk untuk juga melanjutkan perjuangan ayahnya setelah cukup lama menimba ilmu di berbagai pesantren baik di Madura, Jawa Timur atau bahkan beberapa tahun tinggal di Mekkah.
Pada masa kepengasuhan Kiai Ilyas ini, banyak perubahan-perubahan yang cukup berarti bagi perkembangan pesantren, misalnya pola pendekatan kemasyarakatan,[12] sistem pendidikan[13] (penjelasan lebih lanjut ada di bagian lain tulisan ini) serta pola hubungan dengan birokrasi pemerintahan.[14]

Kemudian lima tahun setelah Kiai Ilyas kembali pulang ke Guluk-Guluk (1923), K.H. Abdullah Sajjad, adik kandung beliau, juga telah siap membantu untuk mengembangkan pesantren setelah beberapa tahun nyantri di beberapa pondok pesantren, antara lain pesantren Kiai Kholil Bangkalan, Tebuireng Jombang, dan pesantren Panji Sidoarjo. Kiai Abdullah Sajjad kemudian diberi kesempatan untuk membuka sendiri sebuah pesantren yang letaknya berdampingan dengan kediaman K. Ilyas, yaitu sekitar 100 meter ke arah timur tempat ini sampai kini dikenal dengan nama Latee.[15]

Saat itulah awal dari pemekaran Pondok Pesantren Annuqayah menjadi beberapa daerah. Namun dengan terpilah-pilahnya pesantren ke dalam beberapa daerah tersebut tidaklah berarti bahwa Annuqayah pecah menjadi beberapa bagian, kondisi demikian tercipta semata-mata demi pengelolaan santri saja, karena perkembangan santri secara kuantitas terus bertambah tidak hanya dari daerah Madura, akan tetapi juga dari wilayah Jawa Timur.

Potensi untuk terus bertambahnya daerah-daerah ini sebetulnya sebuah keniscayaan. Namun dengan berpegang kepada komitmen bersama untuk bersama-sama mengembangkan pesantren ini, banyak anggota keluarga yang merasa dan berpikir belum saatnya membuka lahan baru; artinya sebuah lokasi baru akan dibuka sesuai dengan tuntutan dan kelayakan kondisi masa tertentu. Misalnya pada masa kepemimpinan Kiai Ilyas dan Kiai Abdullah Sajjad, banyak permintaan dari para santri dan masyarakat agar K. Idris juga dapat menerima santri untuk tinggal dan belajar di kediaman Kiai Idris, yakni di rumah peninggalan Kiai Syarqawi (Dhalem Tenga), namun Kiai Idris menyarankan kepada mereka agar sebaiknya nyantri di Kiai Ilyas atau ke Kiai Abdullah Sajjad saja, karena Kiai Idris memandang kedua daerah tersebut masih layak dan representatif untuk mengembangkan santri ketika itu.

Permintaan masyarakat kepada Kiai Idris untuk memberikan pengajian dan penerangan ataupun bimbingan semakin tinggi, karena lambat laun masyarakat mulai sadar akan pentingnya pengetahuan dan kesadaran beragama. Atas dasar inilah K. Idris pindah ke Kalabaan (sebuah dusun di sebelah barat pesantren) untuk memenuhi permintaan masyarakat di sana.

Demikianlah, pada tahap-tahap berikutnya jumlah putera maupun menantu Kiai Syarqawi yang siap membantu mengembangkan pesantren semakin bertambah. Untuk itu beberapa di antranya juga diberi kesempatan mengelola pesantren. Namun demikian, walaupun dengan dibukanya areal baru dan masing-masing daerah mempunyai hak otonom dalam pengembangannya, bukanlah berarti pesantren ini terpecah-pecah dan terkotak-kotak dalam berbagai daerah ataupun kelompok. Hal demikian dilakukan, karena semata-mata efektifitas pengelolaan dan pengaturan santri yang terikat dengan sebuah komitmen besar untuk bersama-sama menggembleng sertas mengembangkan santri agar menjadi manusia yang berkepribadian muslim sesuai dengan tujuan dasar pesantren ini.

Perkembangan Fisik dan Kuantitas Santri


Perkembangan Pondok Pesantren Annuqayah yang berbentuk federasi ini, dimulai sejak Kiai Abdullah Sajjad mendirikan pesantren sendiri yang bernama Latee pada tahun 1923. Inisiatif itu dilakukan ketika Annuqayah daerah Lubangsa yang didirikan oleh Kiai Syarqawi tidak mampu lagi menampung santrinya. Berdirinya daerah Latee kemudian diikuti oleh berdirinya daerah-daerah lain. Hingga tahun 1972 Annuqayah sudah terdiri dari lima daerah yang seluruhnya diasuh oleh keturunan dan menantu Kiai Syarqawi, sebagaimana pada tabel berikut:

PERKEMBANGAN DAERAH
PONDOK PESANTREN ANNUQAYAH
DARI PERIODE 1887 - 1978


NAMA DAERAH | PENDIRI | TAHUN BERDIRI
─────────────────────────────────────
Dalem Tenga - K.H. Moh Syarqawi - 1887
Lubangsa - K.H. Moh. Ilyas Syarqawi - 1917*
Al-Furqan - K.Husein Muharrar - 1917
Latee - K.H. Abdullah Sajjad - 1923
Nirmala - K. M. Hasan Bashri - 1963
Lubangsa Selatan - K.H. Moh. Ishomuddin AS - 1972
─────────────────────────────────────
*) Berdirinya Lubangsa tercatat setelah Kiai Ilyas mulai memimpin pesantren ini. Sebelumnya kegiatan pengajian baik oleh Kiai Imam, Kiai Bukhari maupun Kiai Idris bertempat di Dalem Tenga

Seluruh daerah ini mengasuh santri putra dan putri, kecuali Lubangsa Selatan. Untuk menjalankan kegiatannya, setiap daerah memiliki pengurus masing-masing. Tetapi secara kesuluruhan Annuqayah ditangani oleh sebuah kepengurusan. Adapun susunan pengurus pertama Pondok Pesantren Annuqayah tahun 1978 adalah sebagai berikut:

Ketua Umum : K.H. Moh. Amir Ilyas
Ketua I : K.H. Ahmad Basyir A.S.
Ketua II : Drs. K.H. A. Warits Ilyas
Ketua III : K. Hasan Bashri

Sekretaris I : K.H. A.Basith A.S.
Sekretaris II : M. Syafi'i Anshari
Bendahara : K. Moh. Ishomuddin

Pada tahun ini, luas areal tanah pesantren hanya sekitar 2,5 ha. Diatasnya berdiri k.l. 150 asrama santri yang hampir seluruhnya terdiri dari bangunan kecil terbuat dari bambu, dihuni oleh 981 orang santri yang menetap, diasuh oleh enam orang kiai dan 44 tenaga pengajar. Juga terdapat 325 santri kalong yang setiap pagi belajar pada sekolah formal yang terdiri dari tingkat Ibtidaiyah dan Muallimin enam tahun (sekarang kurikulumnya setingkat MTs). Santri-santri itu sebagian besar berasal dari Kabupaten Sumenep dan yang lain berasal dari beberapa Kabupaten di Jawa Timur yang memang bearasal dari kerurunan Madura. Selain dari pendidikan formal tersebut, pengajaran dengan sistem lama; wetonan dan sorogan pun tetap berjalan biasa. Selain itu, terdapat pula pendidikan keterampilan yang mulai digalakkan oleh pemerintah menjelang tahun 70-an.

Pada waktu itu Annuqayah memiliki satu masjid dan tiga mushalla, dua gedung madrasah dengan enam ruang sederhana. Dan juga terdapat sebuah kantor dengan dua ruang yang digunakan sebagai kantor pesantren, madrasah Ibtidaiyah, madrasah Muallimin dan sebuah ruang workshop.
Selama hampir 30 tahun dari tahun 1950 sampai akhir tahun 70-an, perjalanan Pesantren Annuqayah sangat lambat. Tidak ada perubahan yang signifikan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Perkembangan Annuqayah kembali pesat setelah periode itu hingga tahun 80-an akhir. Perkembangan jumlah santri dapat dilihat pada tabel berikut:

PERKEMBANGAN JUMLAH SANTRI ANNUQAYAH
SELAMA 10 TAHUN TERAKHIR (1978 - 1989)


TAHUN | SANTRI | USTADZ | KYAI/NYAI | LUAS
───────────────────────────────
1978/1979 - 981 - 44 - 6+ - 2,5 ha
1984/1985 - 3.037 - 167 - 14+17 - 5 ha
1987/1989 - 3543 - 210 - 16+17 - 8 ha
───────────────────────────────

Pertumbuhan jumlah santri seiring dengan bertambahnya jumlah daerah-daerah yang merupakan bagian integral dari pesantren Annuqayah. Daerah-daerah itu berdiri lebih banyak disebabkan oleh tuntutan masyarakat atau lebih tempatnya publik kiai yang bersangkutan, untuk mendirikan pesantren. Hal itu biasanya terjadi setelah kiai itu menikah dan membangun kediaman sendiri di sekitar pesantren. Dengan adanya tempat baru itu, secara berangsung-angsur datang masyarakat yang ingin belajar agama bahkan menetap/mondok. Sehingga saat ini Annuqayah telah terdiri dari 14 daerah dengan sistem kepengurusan yang masih seperti semula. Berikut tabel perkembangan daerah-daerah hingga saat ini.

Unsur-Unsur Pondok Pesantren Annuqayah


Lokasi dan Fasilitas Pendukung
Luas areal Pondok Pesantren Annuqayah saat ini sekitar 14 Ha. Di atas lokasi tersebut dibangun fasilitas serta berbagai sarana fisik berupa dua masjid Jamik, sembilan mushalla, 525 asrama santri, 19 perkantoran ditambah kantor masing-masing daerah, 100 ruang kelas, satu unit balai kesehatan, satu unit kantor pos, dua buah gedung kampus sekolah tinggi lantai dua, 102 kamar mandi/WC, satu perpustakaan pesantren ditambah 14 perpustakaan daerah dan perpustakaan sekolah.

Tujuan
Secara umum tujuan Pondok Pesantren Annuqayah adalah menciptakan dan mengembangkan santri agar berkepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan, berakhlaq mulia, bermanfaat dan menjadi abdi bagi masyarakat, teguh dalam menyebarkan serta menegakkan Islam, sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (pribadi yang utuh, yaitu pribadi mu’min, muslim dan muhsin).[18]

Struktur Organisasi
Pondok Pesantren Annuqayah berbentuk pesantren federal, yang terdiri dari 13 daerah (sebagaimana digambarkan dalam tabel di atas). Daerah-daerah tersebut memiliki hak otonom dan kedaulatan penuh. Masing-masing memiliki kiai, ustadz, santri, pondok, mushalla/masjid serta tata aturan sendiri-sendiri. Akan tetapi, setiap daerah membawa satu bendera atas nama Annuqayah.

Ada 4 (empat) faktor yang mengikat seluruh daerah menjadi satu kesatuan integral. Pertama, masing-masing daerah dipimpin oleh saudara seketurunan dari pendiri pesantren ini. Kedua, hampir seluruh santri belajar di sekolah formal yang juga dikelola secara kolektif mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Ketiga, semua santri mengikuti program-program yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Annuqayah. Keempat, seluruh daerah berada dalam satu kepengurusan (kelembagaan).

Pondok Pesantren Annuqayah memiliki dua organisasi kelembagaan utama, yaitu lembaga Pesantren Annuqayah dan Yayasan Annuqayah. Dua organisasi kelembagaan ini berdiri sendiri secara sejajar. Masing-masing menangani seluruh sub-sub lembaga di bawahnya serta unit-unit kegiatan menurut bidangnya.

1. Pondok Pesantren Annuqayah
Lembaga Pondok Pesantren Annuqayah berupa kepengurusan yang terstruktur, terdiri dari Majelis Pengasuh, Pengurus Harian dibantu oleh bidang kesekretariatan atau petugas administrasi. Lembaga ini membawahi 14 pesantren daerah yang memiliki hak otonom, juga mengatur unit-unit kegiatan santri, antara lain pendidikan bahasa asing (bahasa Arab dan bahasa Inggris), kursus menjahit dan bordir, jasa konfeksi, studio fotografi, kursus komputer, dan sebagainya. (Perkembangan unit-unit kegiatan ini akan dibahas lebih detail di bagian lain tulisan ini).

Pola komunikasi kepengurusannya bersifat instruktif- konsultatif, dan kebijakan tertinggi ada pada Majelis Pengasuh. Sementara Pengurus Harian merupakan pihak pelaksana kebijakan-kebijakan itu serta mengatur tata tugas dan pembagian tugas-tugas itu kepada dan melalui bagian-bagian di bawahnya, menurut aturan mekanisme kerja yang telah ditentukan.

2. Yayasan Annuqayah
Lembaga lain adalah Yayasan Annuqayah yang didirikan pada tahun 1984. Pada awalnya alasan pendirian yayasan dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mendirikan sekolah tinggi. Tetapi akhirnya tugasnya diperluas meliputi pendidikan dasar dan menengah. Selain itu, Yayasan Annuqayah memiliki unit usaha pertokoan, home industri, peternakan, pertanian dan perkebunan yang menjadi aset dan sumber penghasilan yayasan. Di samping itu, dana yayasan juga berasal dari donatur yang diorganisir menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok memiliki kordinator yang membawahi satu desa atau kecamatan yang kebanyakan tersebar di seluruh Madura dan pulau Jawa bagian timur.
Menurut struktur kepengurusannya, Yayasan Annuqayah terdiri dari Dewan Pembina yang beranggotakan sejumlah kiai. Ketua Umum dibantu tiga orang ketua bidang, yang menangani keuangan, Pembangunan dan pendidikan. Di bawahnya terdapat Sekretaris Umum dan dua Wakil Sekretaris dan dua bendahara. Sedangkan tiga bagian di bawahnya meliputi bagian pendidikan yang menangani pendidikan formal dari TK sampai sekolah tinggi, kemudian bagian Tata Usaha dan bagian usaha yang mengurusi unit-unit usaha. Sedangkan strata paling bawah adalah perwakilan-perwakilan donatur. Yayasan Annuqayah membawahi lembaga otonom yaitu Biro Pengabdian Masyarakat yang lebih dulu berdiri. Biro ini menjadi ujung tombak pengembangan masyarakat yang menjadi concern pesantren Annuqayah.[19]

Kondisi Kehidupan Pondok Pesaantren Annuqayah


Kondisi Kehidupan Masyarakat Sekitar Pesantren
Pondok Pesantren Annuqayah terletak di desan Guluk-Guluk, kecamatan Guluk-Guluk, kabupaten Sumenep, kabupaten paling timur di pulau Madura. Sedangkan letak kecamatan Guluk-Guluk berada pada paling barat kecamatan yang ada di kabupaten Sumenep -- ± 30 km dari kabupaten Sumenep --, berbatasan dengan kecamatan Pakong, kabupaten Pamekasan.

Secara geografis desa Guluk-Guluk berada antara 6°00' - 7°30' dengan ketinggian ± 117 meter dari permukaan laut dengan luas wilayah 1.675.955 ha dari luas kecamatan Guluk-Guluk yang memiliki lahan seluas 6.691.316 ha. Pondok Pesantren Annuqayah berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 14 ha.
Wilayah yang cukup luas ini ternyata tidak memberikan harapan penghidupan bagi masyarakat Guluk-Guluk karena struktur tanahnya, sebagaimana di daerah Madura yang lain, cenderung terdiri dari batu-batu berkapur (lime store rock) dan sebagian besar tanahnya berjenis mediteran. Sedangkan curah hujan rata-rata pertahun 2176 mm, dengan jumlah hariannya kurang lebih 100 hari pertahun.
Penduduk kecamatan Guluk-Guluk berjumlah sebanyak 42.596 jiwa dengan perincian laki-laki 21.093 dan perempuan 21.503 (data tahun 1996).

Kondisi Sosial Budaya dan Keagamaan
Pulau Madura terletak pada bagian timur propinsi Jawa Timur, terkenal dikalangan masyarakat Jawa sebagai "Pulau Santri". Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pondok pesantren dan madrasah (2.271 buah) atau 67,9% dibanding dengan sekolah umum (732 buah) atau 31,1%.
Demikian juga di daerah Guluk-Guluk, banyaknya pondok pesantren dan madrasah menjadi indikasi bahwa masyarakat setempat secara kultural telah mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama. Terdapat banyak karekteristik kultural Madura yang berbeda sekali dengan karekteristik kultural masyarakat Jawa. Salah satu diantaranya adalah sikap perilaku terbuka dan ekspresif. Karakteristik kultural lain yang juga masih dominan pada masyarakat Madura adalah keuletan dan ketekunannya dalam bekerja, sehingga dapat dipahami apabila mereka tetap survive meskipun berada pada wilayah yang gersang dan tandus.

Bentuk ekspresi keagamaan sangat terlihat dalam mempertahankan eksistensi keagamaan dan pengamalan agama yang terwujudkan pada tingkah laku masyarakat yang berakar kuat dalam adat istiadat. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat sehari-hari yang memperlihatkan ciri Islam yang kuat–kendati tidak mutlak–mulai dari cara berpakaian (dimana-mana akan ditemukan masyarakat yang berpakaian sarung dan kopyah nasional dan kopiah putih serta surban bagi masyarakat yang sudah melaksanakan ibadah haji) sampai pada pelaksanaan sholat, bila waktunya tiba mereka mendirikan sholat kendati di pematang sawah, disamping juga tradisi dengan nilai keagamaan yang beraneka ragam jenis dan maksudnya, seperti selamatan tajin sora (bubur ayam) pada bulan Muharram yang merupakan bulan pertama tahun Islam bertujuan mengenang hijrah Nabi Muhammad SAW dan selamatan tajin saffar (jenang, yang terbikin dari tepung beras) serta membaca Surat Yasin ataupun acara haul (selamatan untuk mengenang keluarga yang wafat). Disamping juga penghormatan kepada Rasulullah dalam seni dan budaya dilakukan dengan acara pembacaan Diba' dan Barzanji pada acara-acara pengajian ataupun acara bek-rembek antar-masyarakat. Selain itu masyarakat masih sangat mempercayai dan menghormati pemimpin agama (ulama), lebih diatas pemimpin formal.

Kondisi Sosial Ekonomi
Mayoritas masyarakat Guluk-Guluk bermata pencaharian petani (95,124%), selebihnya bekerja sebagai pedagang kecil, pengrajin, buruh bangunan, peternak, pegawai negeri dan lain-lain.
Dari luas wilayah desa Guluk-Guluk (1.675.955 ha) dengan lahan yang dipergunakan hampir seluruhnya (1.329.69 ha) terdiri dari tanah yang tergantung pada kondisi musim dan hanya 94 ha dari luas tanah pertanian itu yang mendapat pengairan dari sumber mata air dan sungai, sedangkan curah hujan hanya 1.000 mm/tahun.

Dari kondisi lingkungan alam yang kritis, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pendapatan perekonomian rata-rata rendah. Selain alasan tersebut, pendapatan tersebut masih tergantung pada penanaman, perawatan dan keadaan cuaca yang baik dan normal. Untuk memberikan kepastian pendapatan perkapita penduduk sulit sekali, namun begitu berdasarkan kenyataan yang ada di daerah Guluk-Guluk, beberapa tokoh masyarakat di daerah ini memperkirakan bahwa pendapatan rata-rata perkapita penduduk antara 250-350 kg beras pertahun atau antara Rp. 100.000 sampai Rp. 150.000,- (data desa Guluk-Guluk 1997).

Di desa Guluk-Guluk tanaman tembakau merupakan sumber mata pencaharian yang cukup besar, disamping tanaman musim kering seperti, kacang-kacangan dan ubi-ubian atau terkadang pula dengan tanaman padi ketika musim penghujan atau pada lahan yang berdekatan dengan sumber mata air.

Potensi Daerah Sekitar Pondok Pesantren Annuqayah
Secara geografis daerah Guluk-Guluk merupakan daerah yang berbatasan dengan kecamatan Pragaan, kabupaten Sumenep dengan lahan pencaharian utama penduduknya adalah dari hasil laut yang menghubungkan dengan pulau Jawa bagian timur, sedangkan wilayah barat dibatasi oleh kecamatan Pakong, kabupaten Pamekasan dengan pencaharian hasil pertanian, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan desa Prancak,kecamatan Pasongsongan, kabupaten Sumenep dengan daerah pegunungan dan kehutanan dan di sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep dengan lahan pertanian persawahan dan tegalan.

Sedangkan mata pencaharian masyarakat Kecamatan Guluk-Guluk adalah yang utama adalah pertanian tanaman tembakau yang merupakan potensi terbesar di dalam meningkatkan perkapita pendapatan masyarakat di desa Guluk-Guluk, namun ekses negatif dari hasil yang besar ini ternyata berpengaruh pada berkembangnya budaya konsumtif masyarakat Guluk-Guluk, sehingga dalam kondisi panen yang kurang baik, petani harus berpikir serius untuk memperoleh biaya hidup maupun modal kerja/usaha selanjutnya.

Selain potensi lahan pertanian yang ada pada masyarakat Guluk-Guluk adalah potensi kerajinan tembikar (di desa Bragung, batas utara dengan desa Guluk-Guluk), usaha kerajinan anyaman daun siwalan yang berada di daerah bebukitan selatan desa Guluk-Guluk, yaitu di desa Minomih dan Brakas serta usaha peternakan yang tumbuh di desa Guluk-Guluk. Dengan demikian, potensi alam yang rendah serta perilaku ekonomi masyarakatnya tidak memberikan harapan yang cerah bagi peningkatan kualitas ekonomi mereka, tanpa ada usaha-usaha keras dan maksimal untuk mengembangkannya.
Kondisi geografis serta kehidupan sosial masyarakat yang demikian itu menggugah Pondok Pesantren Annuqayah untuk berperan dalam mengembangkan serta memberdayakan masyarakat. Melalui pendekatan “bahasa agama” dengan mengajak masyarakat dari “tidur akhiratnya” untuk memikirkan dan menanggulangi berbagai persoalan kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari. Pendekatan bahasa agama di sini maksudnya adalah pendekatan melalui kelompok-kelompok pengajian (tahlilan, yasinan, zikir dan sebagainya) dan diisi juga dengan penjelasan-penjelasan mengenai berbagai ajaran agama yang berkaitan dengan tanggung jawab manusia menyangkut masalah-masalah kehidupan sehari-hari.
Usaha pengembangan masyarakat ini, banyak dimotori dan dilaksanakan oleh Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPM-PPA).

Kondisi Kehidupan Santri di Dalam Pesantren
Dari seluruh daerah tersebut di atas, pada umumnya mereka bersal dari kabupaten Sumenep (75 %), selebihnya (25 %) dari berbagai daerah di Nusantara, seperti: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Surabaya, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Malang, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Kalimantan, dan Sumatera.

Adapun perbandingan santri dilihat dari jenis pendidikan yang diikuti adalah, sebagian besar mereka mengikuti sekolah formal dan mengikuti pengajian kitab serta program non formal lainnya. Ada juga yang hanya mengikuti pengajian kitab saja dan tidak mengikuti pendidikan formal (perbandingan ini bisa dilihat di tabel perkembangan pendidikan, di bagian lain tulisan ini). Dengan demikian, seluruh santri mengikuti kegiatan pendidikan pesantren (pengajian kitab dan jalur non formal lain), tetapi tidak semua santri mengikuti program pendidikan formal (madrasah).

Situasi kehidupan santri di dalam Pondok Pesantren Annuqayah dapat dideskripsikan sebagai berikut: para santri mengurus dirinya sendiri, seperti memasak, mencuci serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Pada umumnya kedatangan santri ke pesantren diantar oleh keluarganya atau karena teman atau saudarnya yang lebih dulu mondok, sehingga mereka secara langsung dapat bergabung tempat (kamar) yang sudah ada. Tidak ada pembatasan waktu kapan santri harus datang, pergi serta berapa lama tinggal di pesantren, akan tetapi ada pembatasan waktu pendaftaran dan lama belajar di sekolah (madrasah) formal. Dengan demikian, terdapat pertemuan antara pola pendidikan tradisional (pesantren) dan pola pendidikan modern (madrasah).

Dari kondisi kehidupan santri seperti tergambarkan di atas, ada proses peciptaan “budaya” kependidikan yang mampu meng-exposed anak didik kepada budaya yang dianggap baik secara terus menerus menuju terciptanya perilaku tawakkal sebagaimana tercermin dalam skor pandangan mereka terhadap belajar di pesantren. Hal itu mereka lakukan melalui proses kegiataan belajar–mengajar yang bersifat self government,[20] yaitu mengatur diri sendiri dalam belajar, ini disebabkan karena mereka hidup dalam asrama di mana pendidik dan terdidik hidup dalam satu kampus atau satu komunitas yang saling berinteraksi di bawah keteladanan pendidik.

───────────────────────────────

[1] Nama ini sebetulnya tercetus ketika pesantren ini menerapkan sistem klassikal, yaitu sekitar tahun 1933 yang diambil dari nama sebuah kitab karangan Assuyuthi yang berisi 14 fan (cabang) ilmu pengetahuan, Annuqayah juga berarti bersih.. Dengan demikian diharapkan santri Annuqayah dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan berhati bersih.

[2] Kisah perantauan K.H. Syarqawi dalam rangka menimba ilmu ini antara lain dituturkan oleh salah saru cicit beliau dari Ny. Siti Khadijah, KH. Sholeh, Galis Pamekasan. Wawancara tanggal 9 Agustus 2000.

[3] Nama ini kini diabadikan dengan dibangunnya sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gemma di Prenduan.

[4] Namun sebelum berangkat ke Makkah, di daerah kelahiran beliau Kudus, Jawa Tengah, beliau telah mempunyai isteri (Ny. Sabina) demikian menurut penuturan KH. Abd. Basith yang ditulis oleh Ison Basyuni, Da'wah Bil Hal Gaya Pesantren, dalam M. Dawam Rahadjo (Editor), Pergulatan Dunia Pesantren,Jakarta, LP3ES, hal. 219

[5] Keturunan KH. Syarqawi dengan Ny. Khatijah ini adalah : Ny. Shalihah (Ny.Fathullah), K. Zainal Abidin, K. Sa’duddin, Ny. Zubaidah, Ny. Rahmah, K. Jawahir, K. Yahya, Ny. Jauharah (Ny. Thabrani), K. Bukhari, K.M. Idris, K. As’ad dan Ny. Qamariyah.

[6] Sedangkan keturunan beliau dengan Ny. Qamariyah ini adalah: K.M.Yasin, K. Moh. Ilyas, K. Abdullah Siradj K.Abdullah Sajjad, K.Abdul Malik, Ny. Aisyah dan Ny.Na’imah.

[8] Ison Basyuni, Op.Cit. hal. 220.

[9] Mengenai perkembangan kuantitas santri maupun sarana fisik pada periode awal tak diperoleh keterangan secara pasti, karena seperti juga kebanyakan pesantren yang berkembang pada tempo itu tidak pernah melakukan registrasi ataupun menginventarisasi sarana maupun prasarana pesantren. Namun data ini merujuk kepada penuturan Pak Sujak (salah satu santri KH. Syarqawi) yang walupun ketika menuturkan keterangan ini sudah berumur 103 tahun, namun ia masih bisa mengingat betul (tidak pikun) kondisi saat itu. Cerita ini bisa dilihat, Bisri Effendy, Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, Jakarta, P3M, 1990., hal. 55.

[10] Beliau juga dikenal alim pada masanya, namun beliau tidak bisa aktif penuh di pesantren, karena di rumah bekas kediaman KH. Syarqawi (Prenduan) tetap ada masyarakat yang mengaji, jadi beliau sering bolak-balik Prenduan-Guluk-Guluk, di samping itu beliau juga berdagang bahan sandang.

[11] Bisri Effendy, Op.Cit., hal 57, lebih lanjut peneliti LP3ES ini menjelaskan (berdasarkan informasi dari H. Dahlan, ia masih remaja ketika masa KH. Syarqawi dan KH. Moh. Ashiem Ilyas (cucu beliau; wafat 1997) bahwa kondisi masyarakat pada waktu itu masih banyak yang gemar mencuri, mabuk dan berjudi, walaupun mereka mengaku beragama Islam, namun jarang sekali menjalankan sholat lima waktu ataupun syariat Islam lainnya.

[12] Proses penyadaran dan pencerahan kepada masyarakat sekitar mulai membaik, animo masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam semakin tinggi. Eratnya jalinan komunikasi serta hubungan dengan masyarakat sekitar tidak lepas dari peran K. Husain, menantu K. Syarqawi (kawin dengan Ny. Aisyah), beliau juga mengembangkan pesantren ini di daerah Sawajarin (sejak 1917),Tim Penyusun, Sejarah Pondok Pesantren Annuqayah, 1987, hal.3

[13] Pembaharuan sistem pendidikan dan pengajaran di PP Annuqayah digagas oleh K. Khozin Ilyas, putera K. Ilyas Syarqawi, pada tahun 1933 tidak hanya perubahan (mungkin lebih tepatnya penambahan) bentuk-bentuk konvensional seperti sorogan dan wetonan ke sistem klassikal, namun ilmu-ilmu barupun (saat itu) seperti menulis latin, berhitung, bahasa indonesia, ilmu bumi dan sejarah diajarkan kepada seluruh santri. Penerapan sistem klassikal ini juga dilakukan oleh K. Abdullah Sajjad di daerah Latee dan sampai saat ini dilanjutkan oleh putera beliau K. A. Basyir AS dengan mendirikan Madrasah Diniyah (Awwaliyah : 6 kelas dan Wustha : 3 kelas).

[14] Pola hubugan dengan kalangan birokrasi pemerintahan ini nampak dari peran beberapa tokoh di pesantren ini dalam berbagai organisasi ataupun partai atau juga menjadi aparat pemerintahan baik di tingkat kabupaten, kecamatan maupun di desa.

[15] Latee adalah nama blok tanah seperti halnya Lubangsa, Sawajarin. Karena Kiai Abdullah Sajjad mendiami daerah ini, maka beliau terkenal dengan nama Kiai Latee.

[18] Rumusan tujuan ini merupakan hasil penelitian berdasarkan wawancara dengan beberapa pengasuh, lihat Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, Hal. 55-56 dan 68.Lebih lanjut penulis mengemukakan bahwa orientasi tujuan pesantren secara umum masih bersifat inward looking (pandangan ke dalam) dari pada outward looking (pandangan ke luar) dalam artian bahwa tegak dan tersebarnya agama Islam di tengah-tengah masyarakat dengan sendirinya kehidupan bersama akan menjadi baik atau ada semacam trickling down effect, yaitu efek moral yang baik diturunkan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun berpiajak pada paradigma ini, Pondok Pesantren Annuqayah sebetulnya mulai sama-sama menjalankan kedua pandangan tersebut yaitu dengan ikut mengembangkan dan memberdayakan masyarakat, akan tetapi dalam batas-batas akidah dan syariah Islam.(dakwah bil hal).

[19] Dokumen Yayasan dan Jurnal Annual NUANSA, Vol.1-9.

[20] Mastuhu, Op.Cit, hal. 98.

Minggu, 29 November 2015

Seputar IAA

Ribuan alumni Pondok Pesantren Annuqayah memadati aula Syarqawi Annuqayah, Sabtu (31/10). Pesantren yang berlokasi di Desa/Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep Madura tersebut tengah menggelar silaturrahim alumni.

Acara yang diprakarsai pengurus Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) tersebut dihadiri masyaikh Annuqayah mulai dari kiai sepuh hingga kiai muda. Para dosen dan staf Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) juga hadir.

Dalam kesempatan itu, Travel IAA Investama dilaunching. Travel Annuqayah ini menerima order paket wisata, rekreasi, study tour, ziarah wali.

Travel yang dikelola para santri tersebut melayani ziarah wali 5 + Gus Dur, wali 9, dan wali 7 Pulau Wali serta carter untuk berbagai tujuan perjalanan. (Hairul Anam/Adullah Alawi)

Teks Hymne Annuqayah


Kala fajar mengusik kegelapan
Semua bangun dari kelelapan
Sing-singkan selimut kedinginan
Enyahlah kemalasan

 Adzan memecah di keheningan
Sayup-sayup dzikir kedengeran
Shalatpun segera ditegakkan
Sujud kepada tuhan

 **
Pagi mulai membentang
Tugas sudah menantikan
Menuntut ilmu pengetahuan
 Demi tegak agama islam

 Mari semua kita mendoakan
Para pengasuh dalam lindungan
Annuqayah tegak di kekalan
Sampai di akhir zaman

 **